Cerpen : Ambisi Menuntun Hidupku II Putri Jaya- SADANA SMANSAP




Perihal yang aku ingat tentang sekolah adalah kenangan-kenangan yang aku buat bersama teman-teman. (Putri).

foto.net

Penulis : Putri Enjelin Yasinta Jaya, peserta didik kelas XII Bahasa SMAN 1 Pacar, Kec. Pacar. Kab. Manggarai Barat. NTT.

Selamat membaca sahabat literasi digital.

***
AMBISI MUNUNTUN HIDUPKU

Aku terbangun menatap indahnya mentari pagi yang menyejukkan hati, diiringi suara kicau burung yang mendamaikan suasana hati yang begitu tenang. Sedikit ceritakan mengapa anak miskin sepertiku bisa meraih gelar sarjana. Itu kedengaran mustahil untuk anak yang hidup jauh dari kata modern. Banyak orang tua yang berambisi untuk melihat anaknya sukses dengan gelar yang mereka inginkan. Tapi tidak sedikit juga orang tua yang tidak peduli tentang gelar bahkan orang tuaku mati rasa tentang ambisi dan potensi yang kumiliki. 

Orang tuaku menikah dengan kategori umur remaja. Waktu itu ibuku umur 17 tahun dan ayahku umur 18 tahun. Minimnya pengetahuan masyarakat desa tentang pentingnya pendidikan membuat ayah dan ibuku terpaksa dijodohkan diusia yang masih muda. Bukan hanya mereka tapi masih banyak orang di desaku yang mengalami nasib yang sama. Mereka hanya sampai jenjang SMA. Pernikahan dini ini memang sudah merantai dari dulu sampai sekarang. Budaya ini mengikat kebiasaan masyarakat di desaku. Sulit bagi kami anak muda untuk menentang budaya ini. Ditambah krisisnya perekonomian di desa membuat banyak anak muda yang harus berhenti sekolah. Ini tentu menjadi lingkungan yang sangat buruk bagiku. Aku punya cita-cita, aku punya keinginan, aku punya ambisi dan yang paling penting adalah aku punya bakat. Tapi lingkungan ini tidak mendukung keberhasilanku. Kuberi tahu bahwa sedikit orang-orang di desaku berusaha menyekolahkan anaknya sampai jenjang SMA. Mereka kurang menyadari bahwa anak-anak penting akan memiliki ijazah. Bukan tidak mungkin bahwa ijazah SMA akan membawa mereka bekerja di kota. Meskipun pekerjaan yang mereka dapat hanya tukang sapu, pelayan restoran atau pekerjaan lain yang tidak sesuai dengan kemampuan mereka. Huffftt… miris sekali, padahal mereka bisa saja bekerja di tempat yang lebih bagus dari itu. Jika mereka melanjutkan studinya di jenjang yang lebih tinggi. Temanku lana dia sainganku di kelas. Dia selalu mendapat peringkat pertama. Tapi setelah lulus SMA, dia memutuskan untuk menikah dengan orang yang lebih tua darinya. Itu tidak membuatku kaget karena sudah menjadi hal biasa bagi masyarakat di desaku. 

"Selamat yah Selin, kamu keren banget, gak nyangka penampilannya bisa sebagus itu."ucap kak Lisa sambil menggenggam tanganku puas. "Makasih yah kak, ini semua juga karena bantuan kakak udah ijinin aku untuk latihan tari di rumah kakak selama ini." balasku dengan antusias. Hari itu menjadi hari yang membahagiakan. Aku mendapat banyak pujian dari warga karena tarian tradisional yang aku bawakan saat pentas seni tari dalam acara adat di kampungku. Aku memang sudah sering membawakan tarian diacara-acara tertentu di desaku dan tidak sedikit pujian yang kudapat dari warga desa. Pujian itulah yang membangkitkan semangat untukku agar terus berkarya menjadi penari yang terkenal. Tapi semua itu berbanding terbalik dengan orang tuaku terutama ibu. "Kamu ini, bodoh sekali kamu membuang-buang waktu dan tenaga hanya untuk berlatih tarian yang tidak berguna itu, apakah tarianmu itu bisa menghasilkan uang?" Itulah sambutan hangat yang sering kudengar dari ibu saat pulang dari acara pentas seni tari. Tapi menurutku meladeni omongan ibu hanya akan menambah masalah saja. Jadi aku memilih untuk tetap diam. Hancur sekali rasanya ketika orang terdekatmu bahkan tak peduli tentang apa yang benar-benar menjadi impianmu. 

Makan malam pun tiba, walau sederhana kami tetap berkumpul untuk makan malam bersama. Melihat bapak, ibu dan adikku Yaya makan begitu lahap aku malah sibuk menghafal kalimat yang aku susun rapi dan sesempurna mungkin dikepalaku untuk membahas tentang pendidikanku. Bisa kukatakan ini adalah situasi paling menegangkan yang pernah kualami sebelumnya. Aku yakin mereka akan menolak tapi apa salahnya mencoba. Aku sudah menyiapkan banyak argumen untuk meyakinkan mereka. Sambil mengumpulkan keberanian aku mulai angkat bicara. " Ibu, pak, gimana sama sekolahku?" ucapku dengan mata penuh bertanya-tanya. Suasana hening meliputi, ibu dan bapak seketika berhenti mengunyah makanan lalu... "Kamu mau ambil jurusan apa?" Tanya bapak dengan tatapannya yang memberiku sedikit harapan. "Pariwisata pak! Aku mau ambil jurusan pariwisata, nilai bahasa Inggrisku bagus banget." jawabku serempak. Aku sedikit legah mendengar bapak masih peduli dengan pendidikanku. "Gimana bu?" tanya Bapak menanti jawaban dari ibu. "Kamu tahu sendirikan gimana sulitnya ekonomi kita sekarang. Kakak kamu juga belum mengirimkan uang buat ibu. Dia hilang kabar semenjak menikah dan punya anak. Kamu mau tambah beban ibu sama bapak?" balas ibu dengan tatapan penuh amarah. "Tapi Selin punya bakat seni yang sering diapresiasi warga, dia juga berprestasi di sekolah, gak ada salahnya bu kalo kita coba dulu?" ujar bapak dengan nada lembut. Aku mengangguk dan menatap ibu dengan penuh harapan. "Selin bisa sambil kerja bu, Selin janji gak akan ngecewain ibu sama bapak, Selin janji bu." ucapku dengan mata yang berbinar-binar. 

Ibu tidak membalas, dia menghabiskan makanannya lalu beranjak ke kamar dengan wajah datar. Hatiku hancur melihat sikap ibu. Aku tidak bisa menahan air mata, wajahku memerah, mulutku tak bisa mengunyah makanan lagi, nafsu makanku hilang. Bapak menghela napas dan memelukku. "Nanti bapak bicarakan lagi sama ibu." kata bapak sambil mengelus kepalaku. Aku mengangguk menatap wajah bapak dan berharap bapak bisa membujuk ibu. Malam itupun berakhir dengan penuh kesedihan bagiku,namun disisi lain aku merasa legah sudah menanyakannya ke ibu dan bapak, besok aku berharap mendengar kabar baik dari bapak. 

"Mau kemana kamu Sel? Rapi banget." tanya ibu sambil menjemur pakaian depan rumah. "Selin kerumah kak Lisa dulu yah bu, gak lama kok." Jawabku sambil mencium tangan ibu hendak berpamitan. "Buat apa kesana? mau latihan tari lagi? Kamu gak Capek? Mending kamu bantu ibu jualan keliling atau jadi tenaga cuci baju seperti anak Bu Dahlia, udah bisa dapet uang buat bantuin orang tuanya." ujar ibu tanpa melihat kearahku. "Aku pergi dulu yah Bu." balasku dengan sedikit kecewa. Ibu memang selalu membandingkanku dengan anak tetangga yang udah bisa kerja bantuin orang tuanya, padahal kerjaannya cuma jadi tenaga cuci yang pengasilannya cuma bisa buat uang jajannya sendiri. Hatiku benar-benar kesal seperti perang dunia ke dua dalam batinku. 
 foto.net

"Sel tunggu!" Teriakan Bela membuatku seketika kaget. "Ya Tuhan! Kamu ngagetin tau gak sih." ujarku sedikit kesal. "Hehehe, mau kemana Sel? Pagi-pagi udah keluar aja." tanya Bela sambil menepuk punggungku. "Ini mau ke rumah kak Lisa, ada yang mau dia omongin katanya." jawabku. "Sel, kamu pernah kepikiran gak sih untuk terima lamaran gitu? Denger- denger anaknya pak Adi suka tuh sama kamu, ya walaupun umurnya jauh banget sama kamu tidak apa-apa, mereka orang kaya loh Sel, kamu bisa minta apa saja yang kamu mau, bahkan dia bisa saja bayar latihan kelas tari khusus di kota. Itu impian kamu kan Sal? "Ujar Bela dengan tatapan serius. "Ihh… kamu ada-ada saja. Aku bisa cari uang sendiri terus bayarin kelas tari aku sendiri" balasku dengan sedikit sinis. "Hhh... Kamu harus pikirin lagi sih Sel." balas Bela cekikikan. "Dahlan aku pergi dulu, malas aku ngomong sama kamu." kataku kesal. 

"Daaaaaaa kasi salam buat kak Lisa." teriak Bela menutup pembicaraan. 
"Eh Selin, ayo masuk Sel, pasti capek banget yah jalan kaki, mana jauh lagi." Sapa kak Lisa melihatku menghampiri rumahnya. "Iya kak, hari ini panas banget yah, sampe keringetan gini." balasku sambil duduk. "Bentar yah Sel, ambil minum dulu." ujar kak Lisa dengan ramah, "iya kak, terima kasih." jawabku sedikit malu. "Ini Selin, es teh manis, pas banget di luar lagi panas." ucap kak Lisa sambil menyodorkan segelas es teh manis. "Wah, seger bener nih, terima kasih yah kak. "Balasku penuh semangat. "Hmm Sel, kamu jadi kuliahkan? Sekarang udah dibuka tuh pendaftaran mahasiswa baru di kota, udah banyak yang daftar juga, kakak juga udah mau ke kota nih, mau lanjut kerja, sudah lama kakak gak masuk kerja,yaaaa itung-itung ngumpulin uang jajan hasil laundry dari pada nganggurkan. Kamu mau ikut? Biar kakak yang bantu kamu daftar." kata kak Lisa berharap aku bisa ikut. "Emm...mmm… Kak sebenarnya ibu gak setuju aku lanjut kuliah. Malah dia mau aku kerja aja di kampung jualan kue atau jadi tenaga nyuci gitu." balasku dengan nada sedikit pelan. "Tapi, sayang benget loh Sel, nilai bahasa Inggris kamu tinggi banget. Kamu bisa ambil jurusan pariwisata kalo kamu mau. Kamu juga punya bakat tari. Di kota banyak pameran seni Sel, apalagi penggemarnya juga banyak dari luar negeri. Kamu bisa ikutan sambil belajar bahasa Inggris juga. Awalnya emang susah sih Sel. Aku yakin kamu bisa, apalagi kamu orangnya berambisi banget. Bagaimana?" tutur kak Lisa dengan terus meyakinkan. (Suasana hening, hanya pikiranku yang ramai, berusaha mencari cara untuk meyakinkan orang tuaku). "Ya, udah yah kak, aku pamit pulang dulu, nanti aku coba jelasin ke ibu." kataku sambil bergegas pulang. "Kakak harap kamu dapet ijin yah Sel, kakak yakin kamu bisa jadi orang sukses." ucap kak Lisa sambil mengantarku ke pintu depan. "Iya kak, doakan aja." Balasku dengan senyuman. 

Malam pun tiba, seperti biasa kami berkumpul untuk makan malam bersama dengan lauk tempe yang setia menemani. Aku lagi-lagi berada disituasi menegangkan sepertinya harapanku pupus. " Pak, ibu, tadi kak Lisa ngasi tau, katanya dia mau ke kota besok, kebetulan pendaftaran mahasiswa baru sudah dibuka, banyak yang sudah daftar." ucapku pelan. Bapak dan ibu lagi-lagi terdiam, dari raut wajah mereka aku sudah tahu jawabannya, mustahil bagiku untuk mendapat ijin dari mereka. "Sekarang terserah kamu, ibu udah capek, kamu terlalu keras kepala untuk ibu nasehati, Kalau kamu mau ibu sama bapak menderita, kamu boleh pergi besok." ujar ibu kecewa. Kesedihan kembali terasa, aku masuk ke kamar dan menangis, bapak yang tidak tega pun menghampiriku di kamar. Dia memelukku dan berusaha menghentikan tangisku. Tapi aku tak bisa menahan butiran bening mengalir dipipiku. Sambil menangis aku meluapkan semuanya ke bapak. "Besok kak Lisa berangkat pak, kalau aku gak ikut besok berarti udah gak ada kesempatan lagi. Aku harus tunggu pendaftaran tahun depan itupun kalo ibu ijinin. Aku bisa jadi penari terkenal pak. Aku juga bisa belajar bahasa Inggris di sana. Aku ngak mau tinggal di sini terus selamanya. Aku mau lihat kota pak." rintihku dengan tangisan dipelukkan bapak. 

Seketika bapak langsung ke luar kamar dan mengambil sesuatu di kamarnya. Dia menghampiriku dan memberiku tas besar dengan lipatan uang ditangannya. Dia juga memberiku nasehat. "Nak kalau memang itu yang kamu mau. Bapak restui kepergianmu lanjutkan pendidikanmu di kota. Bapak anterin besok kerumah kak Lisa. sekarang berkemasb rapi pakaianmu. Kamu harus tidur cepat, besok bapak anterin pagi-pagi, takut ibu kamu liat." Akupun langsung terdiam membisu dan menatap wajah bapak, sesekali aku menangis terharu dengan sikap bapak tapi bapak langsung menyeka air mataku dan meninggalkanku untuk tidur. 
"Tok tok-tok, nak, Selin? Ayo bangun, nanti ibumu keburu bangun." suara bapak membangunkanku di pagi buta. Aku pun bergegas membuka pintu kamarku dan bersiap-siap untuk pergi. Aku dan bapak beranjak dari rumah tepat pukul 04.00 subuh. Dijalan aku dan bapak berbincang sangat banyak. Sekali-kali aku meneteskan air mata bahagia melihat bapak begitu antusias membawa barang-barangku sambil berjalan kaki bersama. Menempuh perjalanan yang lumayan jauh sekitar 1 jam lamanya sampai kerumah kak Lisa. "Nanti kalo sudah sukses jangan lupa jenguk ibu sama bapak di kampung. Biayai juga tuh sekolah adik kamu biar bisa liat kota dia." kata bapak sambil tertawa kearahku. " Iya pak, Selin janji gak akan ngecewain bapak sama ibu. Nanti Selin akan usahakan beli semua yang bapak mau. Terus Selin bawa bapak ibu sama Yaya ke kota. Kita tinggal bareng di kota. Bapak gak perlu lagi ke sawah. Aku yang bakal bayar semua makanan sama biaya hidup bapak dan ibu. Bapak cuma harus tinggal di rumah sambil santai minum kopi, nonton tv, jalan-jalan juga boleh, tapi bapak harus janji sama Selin, bapak mesti jaga kesehatan." ujarku dengan penuh semangat dan keyakinan kalo aku bakal jadi orang sukses. Aku selalu berharap banyak, bapak hanya tertawa dan mengangguk mendengar banyaknya hayalanku. 
"Kak Lisa tunggu!!" Teriakku memanggil kak Lisa yang hampir berlalu dengan taksinya. Aku sambil berlari dan bapak menghampiri mobil yang kak Lisa naiki. "Eh Selin, Kakak ngira kamu gak jadi pergi. kenapa gak suruh jemput aja?, aku bisa suruh taksinya buat jemput bapak sama Selin." ucap kak Lisa ramah. "tidak usah nak, jalannya gak bagus. Kasian sopir nanti mobilnya kena lumpur." jawab bapak dengan senyumannya yang tulus. "Ya, udah pak, kami berangkat dulu yah,kasian sopirnya udah nunggu dari tadi." kata kak Lisa sambil berpamitan dengan bapak. Aku tak bisa menahan tangis. Dihadapkan pada situasi dimana aku harus berjuang sendiri mengejar impianku tanpa hadirnya seorang ibu untuk sekedar memeluk dan mengucapkan kalimat perpisahan sebelum bertempur ke dunia baruku yang bahkan tak pernah kulihat sebelumnya. Tapi aku yakin ibu dan bapak akan selalu mendoakanku disetiap derap langkah hidupku. "Nak, hati-hati di jalan, bapak sama ibu akan terus mendoakan yang terbaik. Bagaimanapun hasilnya nanti, jangan lupa pulang." ucap bapak sambil mengusap air matanya. "Pip…pip...pip." Suara klakson mobil itu terdengar sangat keras. "Ayo Sel masuk, supirnya ngambek tuh udah nunggu lama." ucap kak Lisa sedikit bercanda. "Selin pamit pergi yah pak, kasih salam buat ibu sama Yaya." ujarku dengan senyuman yang menutupi semua kesedihanku. "Iya nak." balas bapak dengan mata yang berbinar-binar. 
 
foto.net

Lambaian tangan itu menutup percakapanku dengan bapak. Aku tak bisa melepaskan pandanganku dari wajah bapak sampai jarak membuatnya tidak terlihat lagi. Menyakitkan tapi lebih menyakitkan lagi jika aku tidak melakukannya. Setelah seharian mudik. Kami pun sampai di kota. aku tak bisa berhenti mengagumi betapa indahnya suasana kota yang dipenuhi dengan hiasan lampu jalan dan banyaknya orang berlalu-lalang dipinggiran jalan. Sedikit rasa takut dengan suasana baru yang unik itu tapi aku yakin itu adalah awal yang baik untuk sebuah pencapaian yang tinggi. Karena sudah terlalu larut malam, kami memutuskan untuk beristirahat di kontakan kak Lisa. Sebelumnya kami sudah membeli makanan untuk makan malam. Nasi goreng disana tidak jauh berbeda dengan yang ibu masak di desa. Pagi yang cerah dengan sedikit kebisingan menyadarkanku dari tidur lelap semalam. Hari ini aku dan kak Lisa akan sibuk dengan pendaftaranku di kampus baru. Waktu berjalan begitu cepat setelah mendaftar kami langsung mencari kontrakkan saya yang baru dekat dengan kampus agar tidak memakan biaya transportasi. Akhirnya aku mendapat kontrakkan yang lumayan murah walaupun tidak begitu besar. Untuk biaya sebulan aku pinjam uang kak Lisa sampai aku mendapat pekerjaan di sini. Setelah itu aku memutuskan menggunakan uang yang diberikan bapak untuk membeli HP yang tidak begitu mahal. Sisa uang jajanku lumayan menipis. Aku harus hidup hemat gunakan uang untuk biaya makan beberapa hari. Kak Lisa yang sudah memastikan semuanya aman pun segera kembali ke kontrakkan. Sempat takut tinggal sendiri tapi tidak enak juga jika harus tinggal bersama kak Lisa terus menerus. Aku sedikit berperasaan malu dengan kak Lisa yang sudah terlalu banyak membantu. Aku tidak ingin merepotkannya lagi. Dan di sinilah ceritaku baru dimulai, mendapat pekerjaan di kota tidak semudah mendapatkannya di desa.

Kupikir dikota lebih banyak lowongan pekerjaan tapi bodohnya aku tidak sempat berpikir bahwa permintaan pekerjaan juga lebih banyak dari lowongannya. Beberapa hari telah berlalu dengan sia-sia tak satupun tempat kerja yang menerimaku. Aku sempat berpikir untuk menyerah dan kembali ke desa tapi Tuhan berkata lain. Aku terus berdoa dan pada akhirnya aku mendapat pekerjaan di sebuah warung makan. Gajinya lumayan untuk biaya hidup dan cicilan kontrakkan. Beberapa pekan telah berlalu, akhirnya aku pun sudah resmi menjadi mahasiswi. Semakin hari kebutuhan semakin bertambah. Gaji yang kudapat tidak bisa mengimbangi banyaknya kebutuhan yang harus kupenuhi. Disituasi seperti inilah kuasa Tuhan mulai bekerja. Aku yang pusing memikirkan biaya hidup mendapat ide untuk ikut bergabung dalam pentas seni yang kebetulan sedang diadakan disekitar kampus. Aku tidak menyangka tarian tradisional Manggarai yang aku bawakan disana menjadi trending. Dari situlah bakat seniku mulai ku asah lagi, tanpa kelas tari aku bisa melatih tariku sendiri untuk mengisi waktu luang dikontrakkan seiring berkembangan waktu. Aku berhasil memikat hati para penikmat seni tari di kota. Ada salah seorang guru seni tari yang ikut menonton atraksiku pun menawarkan untuk bergabung dalam kelas tarinya. Aku tidak ingin menolak tapi aku juga tidak punya biaya untuk ikut bergabung. Betapa kagetnya aku ketika yang ditawarkan bukanlah sebagai murid tapi sebagai pelatih dalam seni tari. Perasaan bahagia yang begitu luar biasa kurasakan saat itu.

Beberapa bulan kemudian keuanganku mulai membaik semuanya tidak mudah bagiku. Aku harus ke kampus pagi-pagi benar untuk mulai melatih tari. Aku masih kerja bekerja di warung itu semua memang melelahkan tapi aku merasa bersemangat menjalaninya karena aku tahu aku berada di jalan yang benar. Pintu kesuksesan menungguku mengajarkan aku untuk berjuang melewati dua sisi kehipan yang tidak mudah. Setiap hari kulalui dengan aktivitas yang sama, ke kampus melatih tari, dan bekerja di warung. Dua sisi seperti itu hingga waktu akan sampai pada suatu ketika, cobaan kembali menyapa. Warung tempat aku bekerja ditutup, mereka pindah kekota lain dan aku tidak bisa ikut ke sana. Rasa cemas tak kunjung reda, pikiranku kembali sibuk dengan situasi yang ku alami, dan kalian tahu? Kelas tariku juga ditutup untuk beberapa bulan, muridku akan mementaskan tari mereka dibeberapa acara besar yang akan mereka hadiri, dan setelahnya akan diberikan waktu libur yang lumayan panjang. Aku yang sudah menghemat pun dipaksa untuk lebih berhemat lagi. Beberapa bulan aku masih terbantu dengan sedikit tabunganku yang tersisa, dan tentu itu tidak cukup. Aku sudah tidak sanggup lagi,keuanganku sangat sekarat. Aku sempat menelepon kak Lisa tapi dia sulit dihubungi, mungkin dia sangat sibuk dengan pekerjaannya. 

Aku tak tahu harus buat apa lagi. Aku merindukan orang tuaku, tapi mereka bahkan tidak punya HP untuk dihubungi ditambah sulitnya jaringan di desa membuatku berpikir untuk pulang dan bertemu langsung dengan mereka saja tapi disisi lain aku membutuhkan biaya untuk pulang. Aku tidak ingin melihat kekecewaan di wajah mereka. 

Malam itu aku mulai berpikir keras. Air mata menetes dengan sendirinya, dititik seperti ini aku hanya membutuhkan pelukan dari bapak dan ibu. Kerinduanku sudah tak tertahan lagi, sudah hampir 3 tahun aku tidak berkomunikasi dengan mereka, sempat berpikir untuk menyerah. Aku merasa sendiri, sekarang hanya bisa berdoa memohon penyertaan Tuhan atas segala masalah hidup yang ku alami. Aku yang sudah berusaha menenangkan diri tak sanggup lagi membendung air mata yang hampir membasahi semua bantalku. Tepat pukul 01:00 malam aku menerima panggilan dari nomor yang tak dikenal. Aku segera mengusap air mata dan berusaha mengatur napasku agar terdengar lebih tenang. "Halo, nak ini bapak, bapak rindu sama kamu, gimana kabarmu nak." suara itu seketika membuatku bungkam. Aku berusaha untuk tidak menangis, banyak yang ingin ku ceritakan tapi aku bingung harus mulai dari mana. Aku memilih untuk diam, aku hanya ingin mendengar suara mereka, itu saja! " Nak, kamu sehat-sehatkan disana?, Bapak udah beli HP buat nelpon kamu, jaringan disini juga sudah lebih baik sekarang. Jadi bapak sama ibu udah bisa hubungin kamu kapan aja, ini ibu juga mau bicara sama kamu." ucap bapak dengan nada penuh semangat. "Halo nak, nak ibu minta maaf dulu udah ngebebanin pikiran kamu, gak pernah dukung cita-cita kamu dan selalu buat kamu kesal sama ibu, ibu minta maaf yah nak, ibu kangen sama kamu, kamu sehat-sehatkan disana?" Ucap ibu menunggu jawabanku yang sedari tadi hanya diam. Aku tak bisa lagi menutup kesedihanku, aku menangis sejadi-jadinya, aku menceritakan semua yang ku alami ke ibu sama bapak, bapak dan ibu terus memberiku semangat dan motivasi, "Nak, bapak tadi sudah mengirimkan uang buat kamu, tidak terlalu banyak tapi bapak janji kalau ada rezeki lagi nanti bapak kirimi lagi ya." ucap bapak dengan tulus, malam itupun berakhir dengan suasana penuh haru. 

Keesokan harinya aku menjalani aktivitasku dengan lebih semangat, motivasi yang diberikan bapak dan ibu telah membakar semangatku untuk berjuang lebih keras lagi. Hari itu kelas tari pun dibuka kembali. Aku mulai bekerja lagi dan dapat membiayai hidup juga biaya kuliahku, meski harus berhemat, tapi aku tetap tidak merasa kekurangan disini. 

Waktu terus berjalan, akhirnya tiba saat dimana hari ini aku telah resmi dikatakan lulus sarjana kepariwisataan. Banyak keberhasilan yang kuraih disini, aku yang menjadi guru seni tari juga diberi penghargaan dari beberapa penikmat seni tari terkenal dikota. Aku memutuskan untuk mencoba terjun lebih jauh lagi. Aku yang sudah lulus sarjanapun tidak langsung pulang ke desa. Aku merasa masih harus mengerjakan sesuatu di sini. Aku mulai bekerja menjadi tour guide dan penghasilanku cukup besar. Kerja keras tidak pernah mengkhianati hasil. Aku mengerjakan semua hal yang dapat dikerjakan dan menghasilkan uang. Aku punya tabungan yang lumayan cukup untuk membangun rumah. Aku memilih untuk membangun sekolah yang fokus seni tari, untuk sementara proses di desa. Kedatanganku di desa disambut oleh semua warga terutama ibu, bapak dan adikku Yaya. Kami melepas kerinduan yang selama ini kami tahan demi tercapainya sebuah impian yang menghidupkan ambisiku. Pada akhirnya sekolah seni tari pun berhasil didirikan di desa. Aku merekrut pelatih dari kota untuk menjadi guru seni tari di desa. Anak- anak desa mulai berminat dengan kelas tari yang kubuka. Banyak yang bergabung dan mereka dilatih menjadi penari cilik yang akan kubawa ke kota untuk menampilkan kreativitas mereka di sana. Aku tidak hanya merubah nasibku dan keluargaku tapi juga nasib anak-anak desa yang akan menerima pendidikan seni yang akan membawa mereka menjadi penerus bangsa yang lebih menghargai seni. Kini sekolah seni yang kudirikan menjadi populer dan banyak pundi-pundi uang yang kudapat dari penghargaan-penghargaan baik oleh penikmat seni Indonesia maupun tamu luar negeri yang ingin berkunjung. Kini aku tidak hanya membuka kelas seni tari saja tapi perlahan-lahan aku juga merekrut guru seni musik, teater dan seni rupa. Daya tarik seni yang kami ciptakan pun mengundang banyak turis yang berkunjung untuk menyaksikan proses latihan dan pementasan seni yang elok. 

Ekonomi keluargaku pun jauh lebih baik dari sebelumnya. Sekarang aku lebih sering menyempatkan diri membawa bapak,ibu dan adikku Yaya untuk berjalan-jalan dan menikmati semua hasil jerih payahku. Menjadi tour guide diusia muda adalah keberuntungan bagiku, jalan-jalan gratis bahkan dibayar juga adalah mimpiku yang terbayar tuntas. Meski sering bekerja di luar desa, aku tetap punya waktu luang untuk mengunjungi desa dan melihat perkembangan sekolah kesenian hasil dari keringat dan kerja keras yang tak mungkin sia-sia. 


Deo Hironimus //red


Cerpen di atas merupakan karya pihan kategori lomba Festival Literasi Siswa Indonesia (FELSI) tahun 2023.
https://sma.pusatprestasinasional.kemdikbud.go.id

Komentar

Postingan Populer