KERINGAT SUCI SI PANTE TUAK II SECUIL KISAH NYATA
Foto Deo : Petani penyadap sopi (Senin,10/10/22)
***
"Menulislah sampai penamu tumpul dan menulislah sampai engkau dikenal dan dikenang"
Karya : Astrivo Nofesa Sulti
Astrivo Nofesa Sulti dengan sapaan akrab teman sebayanya adalah "Ivo" dia peserta didik kelas XII program IPS di SMA Negeri 2 Macang Pacar, dia adalah ketua komunitas literasi "SADANA SMA Negeri 2 Macang Pacar yang sangat aktif menulis dan membaca sejak kelas XI IPS.
Selamat Membaca 🗒️✍️_______________________________
KERINGAT SUCI SI PANTE TUAK
Senja kembali membuatku merenung, merenungi kisahku ketika masuk SMA.Sebelum melanjutkan kisahku dalam cerita ini, namaku Astrivo, saya anak ketiga dari lima bersaudara. Saya yakin kita semua pasti mempunyai cerita dalam hidup, baik tentang kisah kehidupan orangtua juga perjalanan sekolah. Entah ceritanya manis maupun pahit.
Kisah klasik ini adalah pejuang rupiah si penyadap sopi dan tentang perjuanganku di lembaga SMAN 2 Macang Pacar. Ayahku adalah seorang petani yang setiap hari pekerjaanya adalah sebagai seorang penyadap sopi (pante tuak) sedangkan ibuku adalah bekerja sebagai ibu rumah tangga. Walaupun orangtuaku bekerja sebagai petani ,tetapi aku tak sekalipun malu memiliki mereka didalam kisah hidupku karena bagiku orangtuaku adalah orang terhebat di dunia. Dimana kasih sayang mereka tak tergantikan oleh orang lain.
Jujur aku adalah pribadi yang kadang kala kedua orangtuaku tak perhatikan untuk sekolah. Namun di sisi lain mereka selalu berjuang dengan tangguh untuk menepis segala kesulitan dalam keluarga bahkan dimana mereka selalu berusaha menahan air mata agar tidak menangis ketika dalam situasi tersulit dalam hidup terutama masalah biaya untuk kebutuhan anak-anak mereka.
Sampai detik ini saya tidak bisa membayangkan ayah saya tentang bagaimana keringat suci itu bercucur deras membasahi tubuhnya yang kurus di bawah teriknya matahari demi kelangsungan hidup kami setiap hari.
Ketika saya sudah tamat SMP tiga tahun yang lalu, saya melihat bagaimana ayah dan ibuku mulai getar-getir memikirkan aku anak mereka bisa dan tidaknya melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas (SMA) Bagaimana tidak?,, sementara kakakku yang sulung membutuhkan biaya yang sangat banyak untuk proses penyusunan skripsi tingkat akhir di perguruan tinggi juga kebutuhan lain sehari-hari, sementara kakakku yang kedua juga masih membutuhkan biaya untuk bayar kos dan biaya kuliah pada semester dua.
Hari demi hari pendapatan setiap hari dari orangtuaku berkisar Rp. 20.000 - 50.000 per hari dan itu pun kalau ada. Sebagai seorang petani “Pante Tuak (penyadap sopi)” adalah pendapatan yang tidak seberapa dibandingkan dengan kebutuhan kami sekelurga, belum lagi “Raping (pohon enau) tidak berbuah. Sehingga lagi-lagi dan lagi, mau tidak mau kedua orangtuaku harus berutang agar kami berlima bisa sekolah.
Sinar matahari cukup cerah siang itu, aku ingat betul. Aku bercerita dengan orangtuaku cukup lama setelah makan siang bersama. Waktu itu ketika besoknya pendaftaran SMA Negeri 2 Macang Pacar yang dekat dengan kampungku jaraknya kira kira 2 km, saat itu mentari mulai bersinar disetiap sela-sela rumahku tiba -tiba ayahku memanggilku dengan lembut. “ Nak, bangun hari hampir siang,?”. “iya yah tunggu,” jawabku lembut, aku bergegas bangun menemui mereka dimeja makan. “ Nak, kamu dengan ayah besok pergi daftar di SMA Negeri 2 Macang Pacar,” tutur ayahku. Mendengar itu, perasaanku bercampur rasa haru dan bahagia karena jelas -jelas aku tahu bahwa mereka waktu itu tidak memiliki biaya untuk pendaftaranku. Mereka berusaha bahwa cinta mereka tak terhingga untuk aku. Tidak ada cara lain, ayah dan ibuku harus berhutang lagi. Tapi kali ini berhutang dikoperasi agar terpenuhi keperluan dua kakakku dibangku perkuliahan dan biaya pendaftaranku masuk SMA.
Semakin kesini, aku makin sadar bahwa perjuangan orangtua agar anaknya berpendidikan sangatlah besar. Saat itu, aku melihat raut wajah ayah sang meramu Pante Tuak (penyadap sopi) itu sangat optimis akan kesuksesan anaknya.
Hari itu hari kamis, senyum manis mengais rezeki terpancar dari wajah ayahku yang pekerja keras tidak ada duanya dalam hidupku, setiap hari ayah selau berjuang “dempul wuku tela toni, lako gula, we’e mane” untuk mengais emas mutiara yang ada tengah kebun. Hari-hari pun aku lalui di SMA Negeri 2 Macang Pacar dengan penuh semangat hingga kini aku duduk di kelas dua belas SMA.
Pada suatu hari aku dan teman-temanku di panggil oleh guru bidang kesiswaan di sekolah untuk memberi tahu bahwa kami mendapat beasiswa di sekolah. Pagi itu menggores kisah bahagia dalam hidupku mungkin Tuhan mengabulkan doa-doaku dan orang tuaku rezeki ada padaku. Sebetulnya, sebelum kami libur kenaikan kelas, pihak sekolah meminta agar setelah pulang libur kami diwajibkan untuk daftar ulang dengan persyaratan salah satunya bayar uang sekolah.
Hati ini diajarkan jujur oleh orangtua yang luar biasa, selama libur aku tidak berani meminta uang tunggakkan tersebut kepada mereka. Hingga pada suatu hari saat masuk sekolah aku bertanya pada temanku meci dan darni “ kalian berdua udah punya uang, buat daftar ulang hari senin?,” “tanyaku,” “yah, kalau saya belum punya uang, nanti hari senin kita bawa berkasnya saja dulu,” jawab meci. Mendengar jawaban dari meci, aku sedikit merasa lega karena setidaknya aku punya teman yang belum bawa uang sekolah pada saat pendaftaran ulang.
Ketika besoknya mulai sekolah, aku baru bisa memberanikan diri untuk meminta uang tersebut kepada ayah dan ibu. “ine diang hami mulai sekolah, agu ba setegah seng sekola,” tuturku pada ibu. Dengan lembut ibuku menjawab sambil memberikan pengertian kepadaku. “ikeng, ngo ked sekolah hitu diang, gami toe mek manga sau seng tade, ui mek usaha kawen le gami” jawab ibu dengan lembut menenangkan hatiku yang kian ragu dan khawatir. Aku pun berusaha mengerti dengan keadaan orangtuaku, karena bagaimana pun juga bukan hanya aku yang punya pengeluaran tetapi kakak dan adikku butuh uang.
Malam pun aku lalui dengan berdoa semoga saja besok aku tidak diusir oleh pihak guru bendahara keuangan disekolahku. Ahh..ini cuma hayalan.hehe.. Ayam pun berkokok sepertinya mengetuk dinding kamarku, pertanda hari sudah pagi. Aku terbangun terlalu pagi dan bergegas menuju dapur untuk masak dan menyiapkan sarapan pagi, ketika aku sudah bersiap-siap aku langsung berangkat kesekolah seperti biasa dengan temanku. Seketika tiba di gerbang sekolah SMA Negeri 2 Macang Pacar, aku dan teman-temanku getar-getir menahan perih takut diusir pulang oleh bendahara sekolah. Ternyata bukan hanya aku yang belum membawa uang sekolah namun banyak teman- temanku yang belum belum membawa uang sekolah.
Dengan penuh rasa syukur hari itu aku bisa lalui. Keesokkan harinya aku berangkat sekolah seperti biasanya tiba-tiba ayah dan ibuku memanggilku dari dapur rumah. “ ikeng, am ba dua ratus ribu ked neng seng sekolah hitu,” ucap ibu dengan santun. Mendengar perkataan itu salju bening meleh dipipiku tanpa henti, melihat ayah dan ibuku berjuang mati-matian untukku dan tidak ingin aku dibebani uang sekolah. Entahlah uang itu mereka dapat dari mana lagi, yang pasti mereka benar-benar menyayangiku sepenuh hati dan mereka ingin aku tetap sekolah tanpa beban dengan keadaan.
Sampai didetik ini aku masih belum bisa membayangkan tentang cinta dan kasih sayang itu. Mungkin saja saat ini aku tidak bisa bertemu atau canda tawa dengan teman-teman di lembaga tercinta SMA Negeri 2 Macang Pacar ini dengan bahagia. Apabila tanpa kerja keras dan cucuran keringat suci ayah dan lantunan doa sujud yang selalu selibkan oleh ibuku sang wanita terhebat yang tatkala semangat tak pernah pudar dari pagi hingga malam tiba hanya demi kesuksesan anaknya dibangku sekolah.
Aku terharu dengan bisikkan mereka setiap hari bahwa pendidikan sangatkah penting bagi kecerdasan buah hati mereka. Dibahu anak- anaknya titipkan jutaan asa, kelak buah hati mereka akan sukses dan bisa mengangkat harga diri mereka. Sekarang aku dibangku kelas tiga SMA , aku akan terus berusaha dan belajar agar aku bisa membahagiakan mereka kelak.
Dalam setiap proses belajarku aku selalu ingat motivasi dari pejuang rupiah melawan derasnya hujan panasnya mentari panggang rambut pun kulitnya tak hiraukan. Dia adalah petani “Pante Tuak (penyadap sopi)”. Kata –kata ini selalu rekam dalam sanubariku “ Ikeng, sekola de dia eh emet ngoeng jadi ata dia, olo lait pait detak ngera po jiri ita ata dian” inilah kata-kataku yang selalu membangkitkan semangat apabila aku jatuh dalam belenggu-belenggu kemalasan ataupun terbebani dengan tugas- tugas dari sekolah, hingga kini aku selalu ingat dengan semua perjuangan. Di sini aku akan berharap semoga Tuhan selalu memberikan kesehatan bagi kedua orang tuaku juga kami anak-anaknya dan menyertai langkah hidup agar kami bisa lalui hari-hari bersama dengan bahagia.
Salam Literasi👆
Ayo Membaca 🗒️, Ayo Menulis ✍️
Watu Wangka, 27 Juli 2021.
Editor : Deo Hironimus-
Sahabat Penggerak Literasi SMA Negeri 2 Macang Pacar, komunitas literasi "SADANA" SMA Negeri 2 Macang, Manggarai Barat, NTT
Tetap semangat adik.
BalasHapusSalam literasi 🙏
Terima kasih adik👍
HapusIni menarik, tingkatkan budaya literasi, belajar lagi konsep penulisan. Sehingga jadi tulisan yg bagus.
BalasHapusTerima pak guru @Dus Suni👍
BalasHapusSlm literasi Mas Deo.
BalasHapusUtk judul, tidak hrs hrf kpitl semua, cukup awal kata sj. Utk hrf awal ptikn lngsng, awali hrf kpitl. 😀🤟
Oke mass Cen..sipp thanks 😊👆
Hapus